JAKARTA – DUTA | Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan bahwa persoalan kualitas pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dijawab hanya dengan cara mengubah atau memperbaiki kurikulum. Peningkatan kualitas pendidikan juga harus dijawab dengan peningkatan kualitas guru. Oleh karena itulah harus dipikirkan peningkatan kualitas guru serta sentralisasi pendidikan nasional yang memiliki kewenangan dari pusat hingga daerah. Sebab pendidikan adalah alat perjuangan dan bukan semata pendidikan semata.
“Guru dan Dosen sebagai tenaga profesional memiliki peran strategis untuk mewujudkan visi pendidikan. Guru mempunyai tugas utama pengajaran sesuai dengan prinsip profesionalitas. Guru adalah agen pembelajaran sekaligus pembentuk budaya yang harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekaysa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik,” kata Pontjo.
Sedangkan dosen mempunyai tugas utama tridharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Bahkan jika kita mengambil konsep dari Ki Hadjar Dewantara maka tugas dosen di perguruan tinggi bertambah satu karena konsep caturdharma dari Tamansiswa selain tridharma ditambah satu yaitu pendidikan tinggi sebagai pusat pengembangan kebudayaan nasional.
Dalam Laporan Pemantauan Pendidikan Global (Global Education Monitoring) Tahun 2016 yang diluncurkan di Jakarta misalnya, diketahui bahwa mutu pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan kualitas guru sebagai unsur penting dalam pendidikan berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Keadaan ini tentu memprihatinkan kita semua. Hal ini sangat disayangkan mengingat guru adalah ujung tombak agen pembentuk budaya.
Dalam permasalahan peningkatan kualitas guru, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebuah kementrian yang besar dengan anggaran besar namun tidak memiliki kepanjangan tangan sampai bawah, karena guru dimiliki oleh kabupaten/kota (SD dan SMP) dan propinsi (SMA/SMK).
“Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sepantasnya diperlakukan yang sama dengan Kementrian Agama yang memiliki kepanjangan tangan sampai daerah melalui Kantor Wilayahnya (Kanwil), sehingga dapat memonitor sekolah-sekolah yang di bawah naungan Kementrian Agama secara langsung,” ujarnya.
Mengapa semua itu terjadi? Tentu ada banyak jawaban. Tetapi, lewat pendekatan postkolonial studies didapati jawaban bahwa semua itu karena kita tidak menganggap “pendidikan” sebagai the battle of sovereignty (pertempuran kedaulatan) guna mendapatkan security and prosperity (keamanan dan kemakmuran). Padahal, organisasi tertua pendidikan di Indonesia yaitu Tamansiswa menyebutnya sebagai “alat perlawanan terhadap semua kolonialisme.” Organisasi intelektual tertua Budi Oetomo sudah menyebutnya sebagai, “alat memerdekakan.”
“Sayangnya, kini kita terlalu banyak melakukan pendidikan hanya sebagai pendidikan saja, bahkan seringkali menjadi bisnis usaha jasa,” katanya.
Kesulitan pengembalian sentralisasi pendidikan akibat adanya otonomi daerahnya ini harus ada solusi sementaranya. Salah satu gagasan adalah dengan membuat Badan Pengelola Guru seperti diusulkan tim naskah akademik Sisbuddiknas ini. Yaitu sebuah badan di bawah Presiden atau badan independen dengan anggaran dari Kemdikbud, yang mengelola guru secara terpusat sehingga segala carut marut permasalahan guru dapat diatasi. rls/hb
Leave A Comment