Oleh : Muhammad Farid
Kader PD X FKPPI Jawa Barat
Sudah menjadi pemahaman umum, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri di atas keberagamaan yang kompleks. Keberagaman ini tidak hanya bersifat struktural (vertikal) tapi juga kultural (horizontal). Dan di dalam perbedaan yang bersifat vertikal maupun horizontal tersebut masih ada berlapis perbedaan lagi baik yang bersifat natural maupun kontruksional (hasil konstruksi sosial). Dengan adanya realitas ini, tak ayal bila kebhinekaan selalu menjadi problem paling elementer di setiap era pemerintahan.
Perbedaan natural adalah perbedaan bawaan, seperti suku, ras, dan sejumlah implikasi dari identitas awal tersebut, seperti bahasa, logat dan kebudayaan. Adapun perbedaan konstruktif adalah agama, antar golongan, dan sejumlah implikasi dari identitas tersebut, seperti mahzab, aliran, kepercayaan, ideologi, dan lain sebagainya.
Pada awal pembentukan republik, hingga sebelum reformasi, perbedaan natural menjadi problem paling mendasar bagi setiap pemerintahan. Bila kita perhatikan, berbagai kelompok separatis yang muncul dalam kurun waktu tersebut umumnya memiliki akar kultural yang kuat.
Dengan kata lain, meski dalam pelaksaaan gerakaannya kelompok separatis tersebut menggunakan premis-premis universal, seperti agama, ataupun ideologi tertentu, namun pada teknis operasionalnya, tak satupun dari gerakan tersebut yang tidak mengaitkan diri dengan ego primordial. Sebut saja gerakan RMS yang berbasis di Maluku, GAM dengan Aceh, Fretilin dengan Timor, dan OPM dengan Papua.
Tapi pasca reformasi, skat-skat perbedaan natural itupun tampak mulai mencair. Integrasi nasional terjadi secara masif. Hanya menyisakan dua kelompok gerakan, yaitu GAM dan OPM.
Namun yang terjadi kemudian, adalah mengemukanya konflik terkait isu perbedaan-perbedaan konstruksional. Sebagaimana kita saksikan setidaknya dalam dua dekade terakhir, pasca reformasi isu-isu agama, sektarian dan ideologi mencuat kepermukaan dan mendinamisasi dunia politik tanah air. Ironisnya, semua isu ini justru dimainkan oleh para politisi di tingkat nasional.
Puncaknya, adalah apa yang terjadi dalam 5 tahun terakhir, dimana isu agama, dan ideologi berhasil membelah skema politik tanah air menjadi dua aliran besar, Nasionalis vs Religius. Masing-masing pihak pun menggunakan klaim keagamaan dan kebangsaan sebagai landasan geraknya.
Tapi sejarah memiliki hukumnya sendiri. Dalam sejarah nusantara, sangat sedikit konflik horizontal terjadi karena alasan agama dan ideologi. Karena isu ini hanya mungkin digunakan untuk isu yang bersifat fundamental, yaitu ancaman eksistensi terhadap agama atau pun identitas nasional. Ini juga yang terjadi ketika masa merebut kemerdekaan. Dimana elit dan tokoh nasional mendukung gerakan dengan menggunakan isu agama dan kebangsaan untuk membakar kemarahan rakyat dan mengusir penjajah.
Dengan kata lain, tanpa dukungan dari elit, tak satupun dari kedua isu sensitif tersebut (agama dan kebangsaan) bisa meningkat eskalasinya hingga meledak menjadi konflik. Maka sekarang, ketika eskalasi isu keagaman dan kebangasaan kian meningkat, kita tidak bisa melihat lain, selain adanya keterlibatan elit nasional yang menstimulus isu tersebut terus dinamis. Dan sebagaimana kita saksikan sendiri, kedua isu krusial tersebut bereskalasi seiring dengan terus meningkatnya ketegangan politik sejak kontestasi pemilihan presiden 2014 dan 2019.
Kita sempat terhenyak ketika beberapa waktu setelah munculnya hasil penghitungan suara Pilpres 2019, isu tersebut ternyata masih terus bereskalasi, bahkan meledak menjadi sebuah kerusuhan. Ironisnya, isu ketidakpuasan atas hasil Pilpres ini justru berkembang menjadi membawa narasi perbedaan kultural. Seperti munculnya isu referendum di Aceh dan Papua.
Entah disengaja atau tidak, turbulensi politik Pilpres yang lalu telah mensegregasi perbedaan konstruksional, serta berhasil membangunkan bahaya laten perpecahan di ranah perbedaan natural. Dan sebagaimana sejarah mencatat, sepanjang sejarah nusantara, perbedaan natural jauh lebih sensitif untuk di arahkan kepada konflik daripada perbedaan konstruksional. Karena perbedaan natural merupakan bawaan, given, dan bersifat inheren dengan identitas pokok setiap individu. Dan ketika ini dipermasalahkan, maka yang pasti terjadi adalah deadlock.
Menjelang kontestasi Pemilu 2024, sebaiknya kita harus belajar dari kontestasi Pemilu sebelumnya. Memanasnya segregasi pertarungan Pemilu sebelumnya harus diinsafi oleh para elit nasional dengan memahami kegentingan ini. Semua pihak hendaknya mulai menyudahi brutalitas permainan politik dan dinamika isu yang berbahaya ini. Sebab selain bukan hal yang mudah merawat kebhinnekaan Indonesia, tetapi juga disebabkan oleh budaya politik kita yang masih patron klien. Maka yang dibutuhkan tidak hanya elit politik yang terampil dan berwawasan luas, tetapi juga kearifan tanpa batas.
Kita tidak usah panjang lebar merancang masalah yang ada. Kebhinnekaan ini – baik yang bersifat natural maupun konstruksional – ada dari ujung Sabang sampai Marauke. Semua berpotensi untuk dipecah belah, dirusak, atau dimanipulasi untuk kepentingan politik apapun. Kebhinekaan ini bisa menjadi bahan bakar yang paling potensial untuk meledakkan konflik sosial. Masalah-masalah kecil sekalipun bisa saja menjadi faktor katalis yang dapat menyulut terjadinya konflik dalam skala besar.
Jangankan negara dengan ragam perbedaan yang begitu kompleks seperti Indonesia, negara seperti Rwanda yang hanya terdiri dari 2 suku besar saja (Hutu dan Tutsi), bisa mengalami bencana kemanusiaan merupakan genosida yang dilakukan Suku Hutu (mayoritas) kepada Suku Tutsi (minoritas). Kasus ini, hingga sekarang masih menyisakan PR bagi para ilmuan sosial dan politik. Untuk itu, negara dengan tingkat keberagaman sangat kompleks seperti Indonesia membutuhkan elit politik yang tidak hanya cakap memitigasi konflik, tetapi juga memiliki ketelatenan tinggi dan keterampilan yang baik dalam merawat kebhinekaannya.
Namun demikian, bila kita meninjau lebih jauh, kebhinnekaan Indonesia itu adalah esensi dari identitas nasionalnya. Sebagaimana akal adalah identitas kemanusiaan, Kebhinnekaan juga adalah esensi dari identitas ke-Indonesia-an. Bukanlah manusia bila tidak berakal, dan bukan pula Indonesia bila tidak berkebhinekaan. Menolak kenyataan bahwa esensi indonesia adalah kebhinnekaan, sama halnya dengan menolak proposisi bahwa manusia adalah mahluk berakal. Oleh sebab itu, mempersoalkan perbedaan di NKRI ini adalah perkara yang sangat sulit diterima akal sehat manapun. Apalagi saat isu ini dijadikan alasan untuk mendeskreditkan, menghina dan melakukan agresi. Sebab inilah genealogi NKRI, sebuah pemberian yang tak bisa dipilih atau ditolak.
Sebagaimana manusia akan menemukan eksistensinya saat akal menjadi pemimpin peradaban. Kehidupan berbangsa dan bertanah air di Indonesia juga akan baik pada saat kebhinekaan menjadi pemimpin. Pada saat kebhinekaan yang menjadi alat navigasi dalam membuat keputusan, bukan kepentingan kelompok tertentu. Bila kebhinekaan menjadi landasan dalam merancang strategi pembangunan, bukan pesanan dari kelas sosial tertentu. Dan bila kebhinekaan menjadi alasan bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya, bukan kebanggaan atas etnis tertentu, agama tertentu, atau golongan tertentu.
Sebagaimana manusia, sedang berjalan menuju kebinasaan saat akalnya tidak lagi digunakan dengan baik, maka NKRI pun sebenarnya akan mengalami hal serupa saat kebhinnekaan sudah tidak dijadikan landasan pemikiran dalam membuat sebuah keputusan, tidak dijadikan sebagai pertimbangan utama dalam memilih dan menyikapi suatu keadaan, dan saat Kebhinnekaan sudah tidak lagi menjadi harmoni. Wallahualam bissawab
Leave A Comment