Segenap Ketua/Pengurus Daerah Keluarga Besar FKPPI yang saya cintai,
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenan-Nya kita semua dikaruniai kesehatan untuk bisa mengikuti Rapat Koordinasi yang kita selenggarakan dalam rangka persiapan Rapat Pimpinan Pusat yang akan dating. Rapat Koordinasi ini dimaksudkan untuk bertukar pikiran dan gagasan dari para Pengurus Daerah sebagai masukan dalam menyiapkan bahan-bahan Rapimpus tersebut.

Ada beberapa agenda penting yang perlu kita rumuskan dalam Rapimpus nanti, Yaitu: (1) Merumuskan kembali Peran, Fungsi, dan Posisi Keluarga Besar FKPPI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (2) Merumuskan kembali pola hubungan antara FKPPI dengan Pembina (TNI/Polri); serta (3) Masalah-masalah Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi.

Untuk agenda pertama, yaitu merumuskan kembali peran, fungsi, dan peran FKPPI menjadi penting dan mendesak terutama kalau kita kaitkan dengan kekinian kehidupan berbangsa dan bernegara yang dalam banyak hal masih bermasalah. Kita tentu prihatin menyaksikan berbagai fenomena menurunnya komitmen kepada norma dasar Negara. Semangat kebangsaan atau nasionalisme sebagai modal sosial masyarakat kita yang majemuk, yang dalam sejarah perjuangan di masa lalu menjadi “driving force” untuk memerdekakan Indonesia harus diakui juga mengalami penurunan. Apa yang saya sampaikan ini bukanlah mengada-ngada tanpa data. Banyak hasil penelitian yang mengkonfirmasi keadaan ini.

Sebagai akibat menurunnya komitmen kepada norma dasar dan menurunnya semangat kebangsaan, setelah lebih dari dua dekade kita dalam era reformasi, telah terlihat jelas kenyataan yang sangat merugikan masa depan bangsa dan Negara antara lain: diabaikannya Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm; merosotnya kesadaran kebangsaan; diundangkannya berbagai produk legislatif dan kebijakan pemerintahan yang selain sangat bersahabat pada modal asing juga tidak acuh pada kepentingan rakyat banyak; dikuasainya sumber daya alam dan lembaga keuangan dan perbankan oleh pihak asing; konflik dan perpecahan di kalangan kepemimpinan partai politik; menguatnya kecenderungan kearah separatisme; maraknya aksi terror dan radikalisme; kerusakan generasi muda akibat pembiaran iklan rokok tanpa batas; penggunaan narkoba serta pornografi, dan lain-lain.

Berbagai fenomena melunturnya kebangsaan seperti saya sampaikan tadi, menurut pandangan saya, selain disebabkan karena proses reformasi yang tidak terkendali, boleh jadi disebabkan karena adanya skenario “ubikuitas (ubiquitous)” yang dimainkan oleh pihak-pihak tertentu dengan menghadirkan isu-isu yang merusak kohesi sosial secara massif dan eksesif. Bahkan, sangat mungkin juga merupakan bagian dari Perang Generasi-IV dewasa ini yang telah menjadikan seluruh bidang kehidupan sebagai sasarannya untuk menghancurkan sebuah bangsa dari dalam dirinya sendiri (self distruction).

Menghadapi keadaan bangsa serta kompleksitas ancaman seperti ini, seharusnya semua elemen bangsa bersinergi dan bersatupadu berdasarkan semangat kebersamaan dan semangat gotong royong yang menjadi karakteristik bangsa Indonesia. FKPPI sebagi entitas bela Negara dan agen perubahan, tentu tidak boleh berdiam diri. Dalam konteks inilah perlunya kita melakukan “reformulasi” peran, fungsi, dan posisi FKPPI. Dalam melakukan reformulasi ini, tentu kita tidak boleh keluar dari Visi kebangsaan FKPPI yang menyadari, mengakui, dan menerima keberagaman (pluralitas) untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat Indonesia yang berbeda suku, golongan, agama, adat, bahkan pandangan hidup.

Hanya dengan menguatkan paham kebangsaan seperti ini yang telah menjadi sikap dasar FKPPI, baik sebagai sikap organisasi maupun sikap individu sebagai kader, integrasi nasional dapat selalu kita jaga dan perkuat . Harus diingat bahwa secara hipotetik: paham/semangat kebangsaan atau nasionalisme merupakan “predictor variable” yang memiliki signifikansi positif terhadap integrasi nasional.

Integrasi nasional adalah proses berkelanjutan untuk menyatukan tiga komponen konstitusional Negara yaitu : wilayah, rakyat, dan pemerintah secara ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan sedemikian rupa sehingga optimal mampu mewujudkan efek sinergi optimal yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita nasional, minimal mampu menjaga kelangsungan hidup Negara. Menurut Coleman dan Rosberg, integrasi nasional merupakan proses pemersatuan bangsa di suatu negara yang terdiri atas dua dimensi, yaitu vertikal (elite-massa) dan horizontal (teritorial)”.

Para Pengurus Daerah KB FKPPI yang saya cintai,

Untuk agenda kedua, yaitu merumuskan pola hubungan FKPPI dengan TNI/Polri, didasari oleh realita bahwa jajaran TNI yang meliputi jajaran organik dan jajaran non organik, sesungguhnya mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk memelihara, membela, dan mendayagunakan integrasi nasional untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Namun, sejak reformasi terutama reformasi sektor keamanan (security sector reform) tahun 1999 yang lalu, secara regulasi TNI tidak lagi difungsikan oleh Negara secara optimal.

Dengan bingkai “Paradigma Baru TNI”, sejak keluarnya Undang-Undang Nomer: 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, TNI tidak lagi diberi fungsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. TNI hanya ditempatkan sebagai komponen utama Sistem Pertahanan Negara dalam menghadapi “ancaman militer”. Padahal di masa lalu, TNi telah terbukti mampu membangun kemampuan “Sistem Senjata Sosial” untuk menghadapi segala jenis dan bentuk ancaman, baik ancaman militer maupun non-militer. Dengan pengaturan kelembagaan seperrti ini, tentu sangat disayangkan, telah terjadi “idle capacity” dalam kekuatan dan kemampuan TNI karena tidak difungsikan oleh negara secara maksimal.

Di masa lalu, ancaman non-militer terhadap bangsa ini ditugaskan kepada TNI dengan fungsi Sospolnya. Namun sekarang ini, TNI yang mempunyai struktur organisasi kewilayahan dan jaringan yang luas serta pengalaman dalam menangani ancaman non-militer, tidak lagi difungsikan karena kerangka regulasinya tidak memungkinkan untuk itu, sementara lembaga di luar TNI belum siap pengaturannya. Dengan keadaan ini, dapat dipastikan akan terjadi kekosongan penanganan ancaman yang berdimensi non-militer yang justru sudah menjadi ancaman aktual bagi bangsa dan Negara Indonesia dewasa ini.

Di pihak lain, para purnawirawan TNI/Polri (Keluarga Besar TNI/Polri) dengan modal sosial yang diperoleh sealama masa berdinas, sama sekali tidak terintegrasi dengan peran TNI/Polri seperti yang terjadi di masa lalu. Pengaruh besar yang dimilikinya, seringkali hanya digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Masuknya beberapa purnawirawan TNI/Polri ke berbagai Partai Politik yang berbeda platform dan kepentingannya, seringkali menyebabkan Keluarga Besar TNI/Polri ter-fragmentasi (fragmented) secara tajam.

Melihat keadaan kelembagaan TNI sekarang ini dan peran para purnawirawan (Keluarga Besar TNI/Polri) seperrti saya ilustrasikan tadi, tentu FKPPI harus bisa menjadi bagian dari solusi. Untuk itu, kita perlu merumuskan kembali pola hubungan FKPPI dengan Pembina yaitu TNI/Polri. Saya pernah keluar dengan usulan/tawaran kepada TNI-AD melalui Aster Kasad, agar fungsi TNI dalam membangun sisitem senjata sosial di masa lalu dapat dilaksanakan oleh FKPPI. Tentu usulan ini bukan satu-satunya pola hubungan yang dapat dibangun. Saya mencoba meyakinkan pimpinan TNI-AD bahwa FKPPI mempunyai modal dan kemampuan melaksanakan fungsi tersebut, dengan beberapa alasan, yaitu:

1. FKPPI, KBT, dan TNI mempunyai “share values” yang menjadi landasan yang sangat kuat dalam membangun hubungan dan kerjasama.
2. FKPPI mempunyai hubungan emosional bahkan di masa lalu sempat mempunyai hubungan struktural dengan TNI, karena FKPPI yang didirikan pada 12 September 1978 memang dibentuk dan dikukuhkan oleh Pengurus Besar Pepabri pada waktu itu.
3. Mempunyai pengalaman, karena di masa lalu, FKPPI pernah menjadi bagian dari pelaksana fungsi Sospol ABRI. Karenanya, FKPPI ikut berkiprah dalam menangani berbagai permasalahan bangsa di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, bahkan dalam bidang Hankam.
4. Mempunyai modal sosial yang sangat kuat. Seperti halnya TNI, FKPPI juga memiliki sistem nilai yang kuat, jaringan sosial yang luas, dan kepercayaan (trust) dari masyarakat.
5. Mempunyai struktur dan gelar organisasi sampai tingkat desa yang identik dengan struktur satuan kewilayahan TNI-AD. FKPPI juga memiliki kader-kader yang tersebar di segala bidang kehidupan, dan tersebar di seluruh penjuru tanah air.
6. Kader-kader FKPPI banyak yang menempati posisi-posisi strategis baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.
7. FKPPI merupakan “entitas bela negara” yang siap berjuang dan berkorban untuk bangsa dan negara tercinta.

Para Ketua/Pengurus Daerah KB FKPPI yang saya cintai,

Untuk agenda ketiga, terkait dengan organisisasi, saya harapkan berbagai masukan dari pengurus daerah guna melanjutkan konsolidasi organisasi kita. Dalam rangka konsolidasi organisasi, FKPPI telah mengembangkan organisasi terutama organisasi pendukung yang dulu kita sebut sebagai organisasi sayap antara lain pengukuhan kepengurusan Generasi Muda FKPPI, Wanita FKPPI, dan Himpunan Pengusaha FKPPI.
Pengembangan organisasi, selain memang merupakan kebutuhan organisasi agar setiap fungsi organisasi dapat tertangani secara lebih fokus dan mendalam, juga dimaksudkan untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi putra-putri purnawirawan dan anggota TNI/Polri untuk mengabdi lewat organisasi. Dengan dikembangkannya organisasi, diharapkan kader-kader FKPPI dapat lebih berkiprah dalam organisasi sejenis di tingkat nasional seperti KNPI, HIPMI, dll, untuk melanjutkan pengabdian demi bangsa dan negara Indonesia tercinta dalam mewujudkan cita-cIta kemerdekaan kita.

Demikian sambutan saya mengawali Rapat Koordinasi ini, mudah-mudahan dalam Rakor ini akan muncul berbagai pemikiran dan gagasan yang konstruktif bagi kelanjutan upaya kita melakukan konsolidasi, baik konsolidasi wawasan, konsolidasi organisasi, dan konsolidasi kaderisasi.

Sekian dan Terimakasih

Selamat melaksanakan Rapat Koordinasi

Ketua Umum Kelurga Besar FKPPI

PONTJO SUTOWO