Ketua Umum FKPPI, Pontjo Suwoto. Foto: Yuana Fatwalloh/kumparan
Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI/Polri (FKPPI) menilai pendekatan hukum atas kerusuhan di Papua Barat dan Papua kurang tepat. Ketua Umum FKPPI Pontjo Suwoto mengatakan, penyelesaian kerusuhan di Papua Barat dan Papua perlu mengendepankan pendekatan budaya.
“Pendekatan budaya. Pendekatan hukum saya enggak yakin (bisa menyeleaikan konflik di Papua). Pendekatan budaya jauh lebih diikuti, karena budaya itu adalah nilai yang dianut oleh komunitas itu, setiap manusia itu tunduk dengan budayanya. Jadi menurut saya penyelesaian budaya jauh lebih efektif dari pada penyelesaian hukum,” ujar Pontjo di sela-sela kegiatan Rapimda dan Pelantikan PD XIII FKPPI Jatim di Hotel Singgasana, Surabaya, Sabtu (24/8).
Pontjo menjelaskan, hingga kini penerapan hukum di Indonesia kurang efektif, terlebih kepada masyarakat yang menjunjung tinggi aturan adat. Sehingga dalam praktiknya, penyelesaian kerusuhan di Papua kurang efektif bila menggunakan hukum negara.
“Kita dalam hukum masih punya banyak masalah. Karena belum tentu semua hal perundangan itu sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut bersama. Undang-undang kita masih banyak kurang sesuai dengan Pancasila. Jadi kalau kita mengandalkan hukum saja, saya kira masih kesulitan,” tuturnya.
Anggota DPR Jimmy Demianus Ijie berjalan mendekati Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10 Surabaya, Jawa Timur, Rabu (21/8/2019). Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Penggerudukan asrama mahasiswa Papua yang dipicu oleh pemasangan bendera merah putih yang diinisiasi oleh Tri Susanti juga menjadi perhatian Pontjo. Belajar dari peristiwa ini, ia mengimbau anggotanya untuk bertindak sesuai aturan organisasi dan akan menindak tegas anggotanya yang melanggar aturan.
Sebagaimana diketahui, FKPPI telah memecat Tri Susanti karena dianggap terlibat dalam insiden penggerudukan asrama mahasiswa Papua, di Jalan Kalasan, Surabaya pada 16 Agustus lalu. Pada saat penggerudukan itu, dia membawa atribut FKPPI.
“Sebetulnya anggota kita banyak mungkin saja terlibat. Sebetulnya dia tidak punya otoritas untuk menamakan FKPPI, baik menggalang aksi maupun minta maaf. Urusannya apa? Kalau semua orang anggap FKPPI kan susah,” ujarnya.
“Jadi kita punya mekanisme organisasi untuk meredam supaya semua itu tetap dalam koridor-koridor kebijakan FKPPI,” tandasnya.
Tulisan ini berasal dari redaksi kumparan. Laporkan tulisan