Penyesuaian Tatanan “Normal Baru” (New Normal)
Sejak mengalami bencana pandemic Covid 19 yang berkepanjangan hingga sekarang, maka praktis kegiatan ekonomi nasional mengalami kelumpuhan. Untuk memutus rantai penularan wabah covid 19 ini, pemerintah memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar atau disebut sebagai social distancing) , dimana banyak pabrik, industri maupun Badan usaha perdagangan yang tidak dapat melakukan kegiatan usahanya, sementara upah harus tetap dibayar terus, sehingga banyak perusahaan yang terpaksa melakukan PHK karyawan-karyawannya. Untuk membantu anggota-anggota masyarakat golongan ekonomi lemah yang kehilangan pekerjaannya, negara berusaha memberikan bantuan sosial dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai maupun bantuan sembako kepada mereka.
Namun disisi lain sulit diprediksi berapa lama wabah ini akan berjangkit, sukar juga para pakar kesehatan di Indonesia untuk dapat meramalkannya, karena sampai sekarang obat maupun vaksin yang tepat untuk membasmi Covid 19 di Indonesia ini, belum berhasil ditemukan. Masih dalam proses penelitian oleh laboratorium-laboratorium yang ada di Indonesia, maupun yang ada di luar negeri.
Betapapun niat dan upaya negara menjamin kebutuhan hidup warga negaranya, kemampuan negara untuk memberikan bantuan sosial kepada masyarakat, bukan tidak ada batasnya, karena tanpa adanya kegiatan ekonomi, negara tidak memperoleh pendapatan untuk membiayai pembangunan nasional. Kondisi dilemnatis inilah, yang telah memaksa pemerintah mengambil kebijakan untuk melonggarkan ketentuan-ketentuan PSBB mulai awal Juni 2020 yang akan datang. Kantor-kantor pemerintah, perusahaan perdagangan maupun industri mulai dibuka kembali, namun tetap dengan kewaspadaan dan pembatasan sosial (social distancing) yang aman, dan pada karyawan disarankan untu tetap menggunakan masker dan sering mencuci tangan dengan sabun untuk mencegah penularan covid 19 yang sangat cepat ini. Maka diharapkan kegiatan ekonomi masyrakat menggeliat kembali, walaupun bagaimanapun tidak segera menjadi “normal kembali seperti sediakala” seperti sebelum covid 19 menyerbu negara kita. Kondisi dengan keterbatasan diatas, disebut sebagai Tatanan “Normal Baru”, dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Untuk mengantisipasi berbagai dampak sosial, ekonomi maupun berbagai dampak lainnya, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengatur persiapan “Tatanan Normal Baru” ini, dengan cara merencanakan fase-fase waktu implementasi tatanan normal baru ini, yaitu yang pertama, yakni :
– Fase 1 (1 Juni) : Industri dan jasa dapat beroperasi dengan protokol kesehatan Covid-19. Mall belum boleh beroperasi, kecuali toko penjual masker & fasilitas kesehatan.
– Fase 2 (8 Juni) : Toko, pasar, dan mall diperbolehkan membuka toko namun dengan menerapkan protokol kesehatan
– Fase 3 (15 Juni) : Mall tetap seperti fase 2, namun ada evaluasi pembukaan salon, spa, dan lainnya. Tetap dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Sekolah dibuka namun dengan sistem shift dan menerapkan protokol kesehatan Covid-19
– Fase 4 (6 Juli) : Pembukaan kegiatan ekonomi dengan tambahan evaluasi untuk pembukaan secara bertahap restoran, cafe, bar, dan lainnya dengan protokol kebersihan yang ketat. Kegiatan ibadah diperbolehkan dengan jumlah jamaah dibatasi
– Fase 5 (20-27 Juli) : Evaluasi untuk 4 fase dan pembukaan tempat-tempat atau kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial berskala besar. Akhir Juli/awal Agustus 2020 diharapkan seluruh kegiatan ekonomi sudah dibuka.

Dengan demikian masyarakat diharapkan dapat siap untuk menghadapi tatanan barua yang juga kan membentuk suatu kebiasaan baru, mereka akan memilih untuk menggunakan sarana lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti misalnya rapat-rapat yang biasanya dilakukan pertemuan langsung, akan dipilah sesuai urutan prioritasnya, dan apabila dimungkinkan untuk dapat dilakukan melalui “pertemuan online” menggunakan berbagai aplikasi computer bagi berbagai jenis pertemuan. Demikian juga dengan kegiatan ekonomi, diharapkan masyarakat akan lebih memanfaatkan sistim penjualan dengan aplikasi online, dan menggunakan peralatan pendukung elektronik/komputer untuk melakukan berbagai aktifitas lain yg dimungkinkan.
Dalam upaya menuju tatanan normal baru ini, timbul pertanyaannya; bagaimana mempersiapkan dan mendorong masyarakat untuk menuju terbentuknya masyarakat digital, dimana dalam hampir semua kegiatan sehari-harinya akan lebih memprioritaskan penggunaan fasilitas online. Melihat perkembangan masyarakat di negara-negara maju, agaknya masyarakat digital ini, akan menjadi bentuk tatanan normal baru (New Normal) dalam kehidupan masyarakat kita. Upaya membangun kesadaran masyarakat menuju masyarakat digital secara berkesinambungan, didukung kebijakan pemerintah yang konsisten, akan membentuk masyarakat yang patuh pada aturan dan bersikap mandiri.
Masyarakat Indonesia yang sejak dahulu kala menganut budaya paternalistic, dimana pemimpin-pimpinan komunitas baik yang nonformal maupun yang formal (bagian dari struktur Organisasi pemerintah), senantiasa menjadi panutan bagi masyarakat pada umumnya. Dalam suasana pandemik Covid 19 ini, masyarakat pada umumnya sangatb membutuhkan keteladanan tokoh-tokoh masyarakat tadi. Seyogyanya tokoh-tokoh masyarakat tadi perlu, secara langsung maupun tidak, menyatukan langkah dengan kebijakan dan kegiatan pemerintah untuk mengatasi wabah ini Upaya ini harus dillakukan bersama, tidak mungkin hanya dilakukan oleh pemerintah saja, akan tetapi partisipasi masyarakat mutlak dibutuhkan. Pimpinan pemerintahan harus bersatu dengan komunitas pengusaha, akademisi, cendekiawan dan media massa, untuk membangun sinergi dalam mensukseskan pembangunan tatanan Normal baru ini
Peran Media dalam memasuki tatanan normal baru
Selama ini, masyarakat sangat mengandalkan berbagai Jenis media untuk mendapat berita tentang perkembangan terakhir dari penyebaran wabah Covid 19 ini beserta penanganannya oleh pemerintah maupun oleh komunitas-komunitas lain yang ada dalam masyarakat.
Media adalah satu sarana komunikasi yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat. Namun disisi lain, dengan kemajuan IT, media sosial dewasa ini, telah juga menjadi sarana komunikasi bagi kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan politik tertentu lainnya, untuk melakukan agitasi dan provokasi-provokasi politik tertentu, dengan menyebarkan berita palsu (hoax), berita fitnah dan bahkan serangan-serangan politik yang berusaha menurunkan wibawa pemerintah. Padahal, seharusnya media massa ini “bebas kepentingan”, dan justru menjadi sarana untuk mengedukasi dan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat.
Media apapun formatnya dan siapapun pemiliknya, seharusnya adalah milik pembaca, milik masyarakat. Apalagi dalam situasi saat in, negara tengah mengalami pandemic Convid 19 ini, informasi yang menyesatkan (hoax) atau informasi yang direkayasa untuk mendukung kepentingan kelompok politik tertentu akan sangat merugikan masyarakat, karena telah menimbulkan kecemasan massal, yang sangat berpotensi menimbulkan keresahan dan gejolak sosial dalam masyrakat.
Fenomena sosial inilah yang harus dihindari dalam kehidupan Normal Baru, karena telah mencederai keberadaan dan peran media dalam masyarakat dan dapat berakibat negative, justru akan membawa tatanan Normal Baru tadi menjadi “Bencana Baru”. karena berpotensi memecah belah masyarakat dan akan mereduksi semangat gotong royong sebagai jiwa dari Pancasila, dan way of life bangsa Indonesia.
Peran Pendidikan dalam membangun tatanan normal baru
Conflik-konflik sosial diatas, ebenarnya, telah terjadi jauh hari sebelum pandemic Covid menyerang kita, yakni sejak gerakan reformasi pasca mundurnya Orde Baru dari tampuk pemerintahan pada tahun 1998. Dengan alasan kebebasan berpendapat masyarakat mengalami eforia, dimana norma-norma sosial yang berlaku pada saat itu telah ditinggalkan, sementara norma dan etika sosial yang baru belum terbentuk. Persaingan diantara partai-partai politik dalam meperebutkan kekuasaan dalam kehidupan bernegara, telah menampilkan berbagai perilaku poliitik yang tidak etis. Suasana keruh yang terjadi dikalangan elit bangsa ini, dalam proses peralihan kekuasaan dari presiden BJ Habibie kepada Presiden Abdurachman Wahid, dan dilanjutkan dengan peralihan kepada Presiden Megawati Sukarnoputri, terus berlangsung, dan memuncak pada terjadinya perubahan-perubahan UUD 1945 yang asli menjadi UUD NRI 1945 hasil amanedemen tahun 2002. Dalam UUD ini diatur sistem multi parta, Pemilihan Umum langsung, dan perubahan-perbahan dalam sistem tatanegara kita. Implementasi dari ketentuan-ketentuan dalam UUD NRI 1945 ini, ternyata justru menimbulkan kehidupan yang semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan RI, karena tidak mencerminkan budaya bangsa yang telah terbentuk berabad-abad lamanya.
Perkembangan budaya bangsa, telah mengalami disorientasi sebagai akibat gencarnya gerakan Globalisasi oleh negara-negara maju pada waktu itu, yang telah mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara kita. Sikap individualistik telah berkembang dalam masyarakat kita, dipacu oleh persaingan-persaingan dalam berbagai bidang kehidupan, yang mengatas namakan demi efisiensi dan efektivitas untuk memenangkan persaingan global.
Budaya baru diatas, telah menginfiltrasi dan mendegradasi nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa yang sebelumnya cukup harmonis, dalam kebudayaan masyarakat kepulauan.
Perubahan perubahan sikap budaya diatas, terjadi semakin cepat dalam era industri. Budaya masyarakat industri, telah mendorong pula arah Pendidikan Nasional kita, kepada orientasi yang disatu segi, mementingkan efisiensi dan efektivitas, akan tetapi disisi yang lain, telah meredusir karakter dan nilai-nilai budaya Indonesia. Padahal seharusnya, sistem pendidikan nasional kita hendaknya tetap mengacu pada budaya bangsa Indonesia dalam upaya membangun masyarakat modern, yang sejahtera adil dan Makmur berdasarkan Pancasila.
Jika diingat bahwa perubahan-sistem politik bangsa ini sudah dimulai sejak awal reformasi, 1998, sementara para elite bangsa kita yang tengah aktif berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, pada umumnya berada pada kisaran usia 30 – 45 tahun, maka pada waktu proses reformasi dimulai, mereka. Tokoh-tokoh elit bangsa ini masih berusia antara 8 sampai 23 tahun, yaitu ketika masih berada di Sekolah Dasar sampai dengan mahasiswa. Bahwasanya sekarang kita amati betapa perilaku politik mereka sudah sangat berbeda dengan etika politik maupun norma-norma sosial yang berlaku waktu itu, menunjukkan bahwa “kesenjangan” dalam sistem pendidikan Dasar, memengah dan pendidikan tinggi kita selama ini. Pendidikan yang mengejar “score” bukan kualitas, telah menghasilkan perilaku efektif dan efisien, tetapi telah mencederai nilai-nilai budaya ketimuran yang kita kenal selama ini.
Mengingat proses bergitu panjang yang telah dilalui menuju terbentuknya perilaku masyarakat yang seperti kita kenal dewasa ini, maka untuk mengembalikannya kepada perilaku berbudaya Indonesia seperti yang kita cita-citakan, akan memakan waktu yang panjang pula. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia lah yang bertanggung jawab untuk pembangunan mental spiritual bangsa Indonesia ini.

-Ir.Hendri Dwiwantara.MSc –
Ketua Bidang Pengkajian Strategis Pengurus Pusat KB FKPPI