JAKARTA – Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) Pontjo Sutowo mengapresiasi keputusan pemerintah dan DPR RI yang cukup bijak, yaitu menarik klaster Pendidikan dari RUU Cipta Kerja dan mengharapkan bahwa Pendidikan tetap tidak dipisahkan dari Kebudayaan pada saat pembahasan pasal-pasal Pendidikan dalam merevisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nanti.
Pontjo, yang juga Ketua Aliansi Kebangsaan mengatakan, bahwa menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikan yang tidak menyatu dengan kebudayaan akan cenderung asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian akibat adanya perang nir militer.
“Pendidikan dan Kebudayaan adalah soal Hidup atau Mati bagi Bangsa Indonesia ke depan (education is a matter of life and death for the entire nation), oleh sebab itu perlu ditempatkan sebagai fokus orientasi pembangunan bangsa Indonesia,” tegasnya.
Ia menjelaskan pendidikan sebagai sarana strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ditujukan untuk membentuk manusia Indonesia sebagai individu yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan sekaligus sebagai warga negara Indonesia yang unggul, sehingga pendidikan wajib diikuti oleh semua warga negara.
“Karenanya, Pendidikan Nasional harus dibangun sebagai satu sistem terpadu, dan merupakan satu kesatuan dengan kebudayaan, yang tidak boleh terlepas dari akar budaya bangsa, untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional,” ujarnya.
Dengan demikian, kata Ponttjo, bertumbuh kembangnya pendidikan harus senantiasa menjaga kaidah-kaidah budaya, serta menjaga agar pembangunan pendidikan berlangsung secara berlanjutan (sustainable), dan tidak berhenti ditengah jalan. Ia mengatakan bahwa “Tiada bangsa yang besar tanpa budaya yang kokoh”, dan dia berharap dalam pembahasan tentang perundangan mengenai pendidikan maka Pendidikan harus menjadi bagian dari Kebudayaan, oleh karenanya Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional layak dipertimbangkan, tegasnya.
Sementara itu Prasetijono Widjojo, Ketua Tim Perumus pada Aliansi Kebangsaan, yang juga mantan Deputi Bappenas, mengatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan. Bung Hatta pernah menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan. Oleh karena itulah, segala upaya yang kita lakukan dalam pendidikan tentu tidak boleh keluar dari paradigma ini. Pendidikan nasional harus mengakar kuat pada budaya bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia.
“Seyogyanya paska pencabutan klaster pendidikan dari RUU Cipta Kerja, segera ditindaklanjuti dengan mempercepat pembahasan RUU Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional yg berpijak pada paradigma pembangunan pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan. Rampungnya pembahasan RUU Sistem Kebudayaan dan Pendidikan menjadi UU penting sebagai landasan dan koridor peraturan-peraturan dibawahnya, termasuk investasi di bidang pendidikan,” tambahnya.
Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk melihat kembali secara lebih komprehensif UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Perguruan Tinggi, UU tentang Pemerintahan Daerah, dan UU terkait lainnya, yang saat ini masih berlaku, untuk menjaga agar pembangunan pendidikan di Indonesia tetap berakar pada budaya bangsa.
“Pada tataran operasional sebaiknya sudah mulai dirumuskan apa yang disebut dengan kaidah-kaidah kebudayaan dalam pendidikan. Hal ini penting dan mendasar sebagai prasyarat yang harus dipenuhi dalam pendirian lembaga atau institusi pendidikan. Selanjutnya perlu juga dirumuskan dan disepakati oleh masyarakat pendidikan indikator-indikator apa yang digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai kinerja institusi pendidikan dari sisi aspek budaya,” katanya.
Sementara di tempat yang sama, Bambang Pharmasetiawan, praktisi kebudayaan dan pendidikan yang juga Ketua Yayasan Budaya Cerdas mengatakan, bahwa laba diperbolehkan dibidang pendidikan untuk memberikan peluang investasi, namun laba ini diperuntukkan misalnya untuk guru-guru supaya menjadi semakin sejahtera, juga agar pembangunan sarana dan prasarana pendidikan semakin berkembang maju pesat, dan tentu saja untuk mengembalikan pinjaman investasi. Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa siapapun yang berinvestasi di bidang pendidikan harus memiliki komitmen tidak menutup lembaga pendidikannya di tengah jalan, paling tidak 12 tahun misalnya. Hal ini karena yang dididik adalah manusia dan pendidikan untuk membentuk budaya, jadi harus sinambung. Jadi tidak dengan mudah buka atau tutup kapan pun, ataupun dengan mudah dipindah tangankan.
“Ada faktor kaidah budaya yang harus mengikatnya. Dan sudah sepantasnya ada undang-undang yang menaunginya, yang menjadikan Kebudayaan sebagai penjurunya dan tidak bertentangan dengan alinea keempat Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945 bahwa salah satu tujuan kemerdekaan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan adalah sarana strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan terutama pendidikan dasar dan menengah itu wajib diikuti oleh semua warga negara, dan negara wajib membiayainya,” kilahnya.
Menurutnya, swasta bersifat untuk membantu pemerintah, oleh karenanya perlu diberikan stimulus seperti keringanan berbagai pajak dan lainnya. Bahkan untuk lembaga pendidikan yang juga menangani inklusi dan juga yang memiliki wawasan kebangsaan maka keringanan ini harus cukup besar karena mereka juga merupakan garda terdepan dalam pembangunan manusia Indonesia yang paripurna, dan harus terus tumbuh berkembang tidak dibiarkan merana ibarat hidup susah matipun tidak.
Sementara Ketua Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Wisnu Broto mengatakan bahwa kita perlu membedakan terlebih dahulu mana sekolah yang milik pemerintah dan mana yang milik swasta. Yang bisa diatur nirlaba adalah Sekolah Negeri dan Perguruan Tinggi Negeri. Sebab mereka dapat anggaran dari negara, dan itu merupakan kewajiban negara. Bahkan negara tanpa memikirkan untung rugi harus dapat melayani pendidikan di pinggir kota-kota dan bahkan wajib masuk kepedesaan dan daerah 3T. Sekolah swasta harus dibedakan lagi, yaitu ada Sekolah/Perguruan Tinggi (PT) Swasta yang idealis, dan ini harus diberikan keringanan oleh pemerintah agar guru-gurunya dapat bantuan gaji dari pemerintah. Ataupun keringanan-keringanan lain.
“Kemudian ada Sekolah/PT Swasta yang bersifat komersil, hal ini diperbolehkan tapi dibatasi dalam koridor segi budaya nasional dan sertifikasi guru maupun lembaganya dilakukan oleh pemerintah,” ujar Wisnu.
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Kamboja yang juga pemerhati budaya dan kebangsaan, Nurrachman Oerip mengatakan bahwa hendaknya kita sepakati bahwa pendekatan proporsional dan kontekstual dalam mengaktualisasikan kepentingan nasional melalui Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional adalah kondisi prasyarat untuk dapat menjamin kelangsungan hidup, dan memantapkan berlanjutnya kemajuan bangsa Indonesia.
“Oleh sebab itu menjadikan kemanunggalan Kebudayaan dan Pendidikan sebagai poros dan kekuatan utama penggerak dinamis bagi kemantapan eksistensi, identitas, dan regenerasi bangsa Indonesia adalah sarana dan sekaligus wahana strategis untuk dapat mengatasi kepentingan politik global, khususnya pada bidang investasi insani (human investment),” kata Nurrachman
Sedangkan Hendri Dwiwantara yang menjabat sebagai Ketua Bidang Pengkajian Strategis PP FKPPI mengatakan, bahwa yang diperlukan saat ini adalah kemampuan daya saing menghadapi persaingan global, artinya kita harus memiliki sumber daya manusia yang “Unggul”. Ini untuk keperluan mengelola semua jenis kekayaan sumber daya alam yang kita miliki, agar tidak salah urus.
“Oleh karenanya diperlukan suatu sistim pendidikan nasional dan suatu “road map” yang memiliki daya jangkau luas dan merata diseluruh tanah air dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan yang berbudaya,” mengakhiri (ANP)
Leave A Comment